Skip to content

Mysingkawang

Kreativitas & Perubahan Sosial

Menu
  • Home
  • event
  • blog
  • budaya
  • Ekonomi Kreatif
  • Video
  • wisata singkawang
  • fotografi
    • Fotografer
  • PROFIL
    • PARTISIPASI
    • Liputan Media
Menu

Bunga Densia sebagai Maskot Singkawang

Posted on April 30, 2025May 10, 2025 by mysingkawang

Di antara hiruk-pikuk kehidupan yang kian berdetak, perubahan itu tak terelak, serumpun bunga kecil tumbuh di atas pohon menjadi saksi bisu atas semua fenomena di Singkawang. Meski terabaikan, kehadirannya melengkapi lansekap kehidupan alam di tanah bertuah ini. Ia adalah bagian dari keanekaragaman hayati yang langka dan unik di Singkawang, Nama julukannya Bunga Densia yang memiliki nilai filosofi dan representasi semangat Singkawang yang penuh gairah.

FOTO oleh Teo Woon Cheng/Facebook

Mari Mengenal Bunga Densia

Bunga Densia adalah satu diantara ribuan jenis anggrek Indonesia yang memiliki keindahan khas.

SEJARAH

Bunga anggrek ini ditemukan pertama kali oleh F.J. Paath, seorang botani asal Indonesia (Minahasa) yang bekerja di Herbarium Bogoriense Hindia Belanda (Kebun Raya Bogor). Sekitar tahun 1934, Paath, menjelajah hutan Kalimantan Barat, yaitu Gunung Raja atau kini dikenal dengan nama Cagar Alam Pasi Raya, Singkawang.

Saya curiga kedatangan Paath ke Kalimantan Barat karena mendengar kabar ada kawasan cagar alam yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kalimantan Barat, melalui Surat Keputusan Zelfbestuur Van Sambas No. 39 pada tanggal 20 Januari 1931, dengan luas kawasan sekitar 900 hektar.

Zelfbestuur adalah pemerintahan sendiri atau pemerintahan lokal otonom di bawah Kesultanan Sambas, yang berada dalam pengawasan Residentie Westerafdeeling van Borneo.

Tentu penetapan kawasan tersebut mengundang perhatian para ahli botani masa itu.  Sekarang kawasan CA Raya Pasi memiliki luas sekitar 3.700 hektare dan mencakup berbagai bukit dan gunung di sekitar Singkawang.

Di tengah hutan yang lebat Singkawang di tengah kesunyian penuh misteri, Paath menemukan anggrek kecil, lalu mendeskripsikannya sebagai berikut,”bunga berwarna putih susu, lobus tengah bibir berwarna oranye cerah di dalam”.

Catatan kecil Paath dan dua rumpun anggrek yang diawetkan dalam botol dikirim untuk diidentifikasi secara ilmiah oleh Johannes Jacobus Smith, seorang ahli anggrek yang pernah menjabat sebagai direktur Kebun Raya Bogor (1913 – 1924).

Tahun  1935, JJ Smith, lewat artikel berjudul “A Few Orchids From The Malayan Archipelago” di “The Gardens’ Bulletin Straits Settlements”, Volume IX, Desember, 1935 – March, 1938, Singapura, mengenalkan anggrek yang ditemukan Paath di Singkawang dengan nama “Dendrobium singkawangense”.

Dalam artikel tersebut, J. J. Smith menulis,

Ilustrasi F.J Paath ketika menemukan Bunga Densia di sekitar Gunung Raja atau sekarang dikenal dengan kawasan Cagar Alam Raya Pasi.
Ilustrasi F.J Paath ketika menemukan Bunga Densia di sekitar Gunung Raja atau sekarang dikenal dengan kawasan Cagar Alam Raya Pasi.

“……….

Borneo:—Wester Afdeeling, Singkawang, lapangan alang-alang dengan pohon tersebar, epifit (F. J. Paath, 20 Oktober, 1934; “bunga berwarna putih susu, lobus tengah bibir berwarna oranye cerah di dalam”). Spesies yang sangat berbeda dari kelompok Nigrohirsuto dalam bagian Distichophyllum. Bibir sangat berbintil di dalam, mirip dengan D. ovipostoriferum J. J. S., D. Hallieri J. J. S., namun sangat berbeda dari spesies lain yang saya kenal dalam mentum yang lebih pendek, lobus samping yang jauh lebih besar dibandingkan dengan lobus tengah, dan ciri lainnya. Dalam bentuk kelopak yang tajam agak mirip dengan D. Hallievi. Berkat bantuan editor “De Orchidee”, saya menerima bunga yang diawetkan dalam spirit dan foto-foto ketika deskripsi ini dibuat. “

Smith juga mencatat ulang keterangan Paath, bahwa anggrek ini ditemukan di “Gunung Raja” dekat Singkawang.

Sayangnya, sejak tercatat secara resmi tahun 1935 hingga saat ini, upaya para ahli seperti F. J. Paath dan J. J. Smith, mengenalkan Bunga Densia tidak berasa di Singkawang. Catatan tersebut seperti menguap begitu saja. Padahal dalam peta anggrek dunia, Dendrobium singkawangense ini adalah catatan sejarah penting tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, khususnya di Singkawang.

Pada titik ini kita sedang memanggil “memori kolektif” untuk merayakan keanekaragaman hayati sebagai bentuk wujud syukur terhadap Allah SWT.

Klasifikasi ilmiah
Dendrobium singkawangense
Kerajaan                   : Plantae
Ordo                          : Asparagales
Famili                        : Orchidaceae
Genus                        : Dendrobium
Spesies                      : Dendrobium singkawangense

Nama binomial
Dendrobium singkawangense, J.J.Sm.

Nama Julukan
Bunga Densia, Anggrek Singkawang

Karakter Bunga Densia alias Anggrek Singkawang

Tumbuhan hutan yang ditemukan oleh F. J Paath termasuk ke dalam keluarga orchidaceae, genus Dendrobium yang hidup menumpang di pohon-pohon besar. Meski menumpang, Bunga Densia tidak merusak pohon tempat ia bertumbuh kembang. Dia adalah tumbuhan epifit yang “menghidupi” dirinya secara mandiri. Kebutuhan air diperoleh dari tetesan hujan, embun, atau uap air.

Sementara pemenuhan “gizi” atau hara mineral diperoleh dari debu atau hasil dekomposisi batang serta sisa-sisa bagian tumbuhan lain yang terurai. Akarnya tidak menyentuh tanah namun punya sistem jaringan spons yang mampu menyerap kelembaban dan nutrisi dari bahan organik apa pun di akarnya.

Epifit berukuran kecil ini memiliki batang dengan ruas yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Bunga dalam kondisi mekar berukuran 3 cm – 4 cm.

Perihal Penyematan “singkawangense”

Secara filosofi, pembubuhan nama “singkawangense” adalah bentuk penghormatan para ahli untuk menghormati lokasi temuan spesies sekaligus mempermudah identifikasi awal. Praktek ini menjadi tradisi dalam dunia botani di seluruh dunia. Dengan kata lain, penamaan ini berdampak pada pemetaan yang lebih akurat terhadap distribusi geografis spesies khususnya anggrek di seluruh dunia.

Dan kita patut bersyukur karena J.J Smith menyematkan “singkawangense” kepada bunga anggrek dendrobium dari hutan Singkawang. Tentu saja dia punya “hak” untuk menyematkan nama dirinya, tapi Smith tidak melakukannya. Dia sadar, sebagai ahli anggrek yang berada di tengah ribuan jenis anggrek di Hindia Belanda (Indonesia), lebih memilih menyematkan “singkawangense” sebagai upaya menghargai ekosistem dan keaneragaman hayati di Singkawang.

Selain itu, penamaan tumbuhan yang merujuk lokasi geografis penemuan seperti Singkawang, juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati lokal . Dengan menggunakan nama seperti singkawangense, orang menjadi lebih mengenal dan menghargai flora serta lebih terdorong untuk melindungi dan melestarikan Bunga Densia ini.

Penelitian terkait Bunga Densia :

  1. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Tomat terhadap Pertumbuhan Subkultur Anggrek Dendrobium singkawangense pada Media ½ MS secara In Vitro, Jurnal Saing Pertanian Equator oleh Dea Maulidia, Asnawati, dan Agustina Listiawati (2024).
  2. Induksi PLB Sekunder Dendrobium singkawangense J.J. Smith Aksesi Mamasa, Sulawesi Barat dengan Media Knudson C, IAA dan BA secara In Vitro, Institut Pertanian Bogor oleh Ai Maryam dan Ni Made Armini Wiendi (2019).
  3. Taxonomic Revision of Orchids in The Genus Dendrobium SW. Section Formosae (Benth. & Hook.F) Hook.F. (Orchidaceae) in Thailand and Adjacent Areas, Apirada Sathapattayanon, Universitas Chulalongkorn, 2008.
  4. The Gardens’ Bulletin Straits Settlements”, Volume IX, Desember, 1935 – March, Singapura, 1938

Dari paparan ringkas di atas, dengan melihat sejarah Bunga Densia yang telah mendunia, kiranya tak berlebihan jika saya menyodorkan gagasan bunga kecil dari hutan Gunung Raya ini menjadi maskot Singkawang.

 

KENAPA Bunga Densia Layak Menjadi Maskot Singkawang?

Sejak Singkawang diresmikan menjadi sebuah wilayah sendiri pada tahun 2001, hingga hari ini belum memiliki maskot yang khas. Ini tentunya masalah serius. Masalah serius bagi sebuah kota yang sejak menjadi ibukota Kabupaten Sambas telah mengklaim diri sebagai kota pariwisata. Meski belum memiliki maskot, Singkawang telah memiliki sejumlah ikon diantaranya Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan Masjid Raya Singkawang yang posisinya berada di tengah kota. Kedua bangunan ini adalah ikon dari semangat toleransi di Singkawang. Ada juga ikon heritage yaitu rumah pembesar Belanda  Residentielle Afdeeling atau Mess Daerah.

Pihak pemerintah kota pula telah menetapkan “tiang kapal karam” di pasir panjang sebagai logo resmi pariwisata Singkawang. Kini keberadaan tiang entah kemana. Katanya sih dimakan monster. Sementara perspektif budaya tak benda, ritual Cap Go Meh menjadi ikon budaya paling populer di Singkawang. Semua contoh-contoh itu merupakan representasi Singkawang.

Representasi ini memudahkan orang-orang mengenali Singkawang.

Dengan segudang perbedaan latar budaya, nilai kelompok, suku, dan sebagainya representasi yang melekat dengan identitas sering kali tak mampu menampung identitas yang lain. Itulah kenapa dibutuhkan sebuah maskot yang memiliki makna dan nilai filosofi bagi semua golongan manusia di Singkawang.

Bila kita belajar dari pengalaman daerah lain, banyak wilayah menggunakan hewan dan tumbuhan, seperti yang dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Barat yang memilih burung Enggang Gading dan Bunga Tengkawang sebagai representasi “rupa” wilayahnya.

Tentu ada banyak daerah di Indonesia bahkan sejumlah negara menggunakan tumbuhan dan hewan sebagai bentuk representasi identitasnya. Contoh lainnya adalah Kota Jakarta dengan Salak Condet, Bali dengan Melati Bali, Medan dengan anggrek, Yogyakarta dengan Kaliandra, Surabaya dengan Kenanga, dan Bandung dengan Bunga Melati.

Dari berbagai contoh maskot tersebut, kiranya Singkawang dapat menciptakan maskot yang terinspirasi dari spesies asli Singkawang. Saya mencoba menyodorkan alasan filosofi dan ragam potensi pengembangan Bunga Densia dalam bidang konservasi, agro wisata, dan ekonomi kreatif.

 

ALASAN FILOSOFI

  1. Hidup Menumpang Tak Merusak Inang

Bunga Densia termasuk tumbuhan epifit artinya jenis tumbuhan yang hidup dengan cara menumpang di tumbuhan lain sebagai tempat hidupnya. Kadang keberadaannya menyimpil di dahan atau bahan pohon yang tinggi.

 Densia mengajarkan bahwa kita bisa mandiri dalam jalan hidup masing-masing, tetapi juga tetap menjaga hubungan yang harmonis dengan orang lain tanpa merusak atau mengganggu hak dan ruang hidup mereka. Bahwa untuk tumbuh dan berkembang tidak harus menghancurkan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini batang pohon. Dia hanya mengambil secukupnya untuk kebutuhan melanjutkan kehidupan.

2. Harmoni

Filosofi Densia yang menumpang di pohon lain tapi tetap kokoh berdiri dengan akarnya sendiri bisa mewakili kemampuan masyarakat Singkawang untuk hidup berdampingan, meskipun berbeda suku, agama, dan budaya. Keharmonisan dan kerjasama yang baik antara jenis tumbuhan yang berbeda menghasilkan lansekap alam yang indah. Tidak saling menganggu. Bukankah kita di Singkawang juga begitu?

3. Kemandirian

Jalinan akar kecil mengembangkan jaringan yang mampu menyerap kelembaban udara dan tidak merusak pohon tempat tumbuh berkembang. Tetes hujan, embun, uap air, dan juga unsur hara lainnya “ditangkap” oleh Bunga Densia hingga menjadikan dirinya dapat tumbuh berkembang. Akar-akarnya yang kecil namun kokoh “berpegangan” pada pohon meski dalam kondisi badai.

Akar Densia yang kecil namun kokoh itu dapat diartikan sebagai simbol kekuatan komunitas yang saling mendukung, meskipun terkadang tampak kecil atau tidak terlihat. Fakta di lapangan, bahwa masyarakat Singkawang mengutamakan gotong royong dan saling bantu-membantu dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan tantangan.

Tiga filosofi hidup Bunga Densia ini adalah representasi terbaik dari kemampuan manusia di Singkawang yang selalu hidup damai dengan siapa pun baik di dalam maupun di luar kelompok/komunitas atau identitas lainnya. Sebuah karakter yang mampu menciptakan keselarasan dan keseimbangan yang berguna pada diri dan sekitarnya.

 

MENGGAUNGKAN SEMANGAT KONVERSASI

Sejak Surat Keputusan Zelfbestuur Van Sambas, ekspedisi F.J Paath, identifikasi J. J. Smith, ragam penelitian, hingga upaya pemeliharaan oleh para pecinta anggrek Indonesia merupakan bentuk nyata semangat konservasi yang bertujuan untuk melestarikan ciptaan Allah SWT ini agar tetap eksis. Semangat ini harus dipompa terus hingga menjadi “gaya hidup” khas orang Singkawang sampai akhir zaman.

Di Negara Indonesia, konservasi terbagi dua bagian, yaitu Konservasi in situ dan ex situ.

Konservasi in situ adalah upaya pelestarian flora dan fauna dalam hal ini, Bunga Densia, di habitat alami seperti Cagar Alam Raya Pasi. Upaya ini telah dirintis sejak masa kesultanan Sambas dan Kolonial Belanda yang tertuang dalam surat keputusan Zelfbestuur Van Sambas tahun 1931.

 Berikut kronologi penetapan Cagar Alam Raya Pasi

  1. Penetapan awal:
    Januari 1931, SK Zelfbestuur Van Sambas No. 39 (900 hektar).
  2. Perluasan:
    Mei 1978, SK Menteri Pertanian RI No. 326/Kpts-Um/5/1978 (3.742 hektar).
  3. Pengubahan luas:
    14 Maret 1990, SK (3.700 hektar), sebagaimana dijelaskan dalam Buku Informasi 521 KK Region Kalimantan dan Sulawesi.

Meski demikian kita masih perlu “kekuatan” secara hukum agar Bunga Densia yang berada di habitat aslinya menjadi spesies yang dilindungi. Misalnya dalam Surat Keputusan Walikota Singkawang yang menetapkan Bunga Densia menjadi maskot kota yang dilindungi.

Taman Bougenville pernah mengembangkan Dendrobium singkawangense namun beberapa tahun terakhir spesies ini tidak ada lagi di taman. FOTO : FRINO BARIARCIANUR

Keberadaan Bunga Densia hingga hari ini, bisa dipelajari atau dikembangbiakan, juga tak lepas dari para ahli botani dan pecinta anggrek yang telah melakukan pemeliharaan secara mandiri. Inilah yang disebut dengan konservasi ex situ, yaitu model penyelamatan spesies di luar habitat alami. Upaya ini dapat dinilai sebagai strategi agar perburuan anggrek liar di habitat asli berkurang.

Melalui metode ex situ, informasi tentang Bunga Densia kepada generasi muda Singkawang terutama bagi anak-anak sekolah, seperti Pramuka atau klub pecinta alam sekolah, akan mudah tanpa harus ke habitat aslinya. Dan ketika generasi muda menjelajah ke hutan Singkawang, mereka menjadi tahu bagaimana seharusnya bersikap ketika berada di dalam kawasan cagar alam.

Tidak menutup kemungkinan, pengembangbiakan Bunga Densia, seperti yang pernah dilakukan pengelola Taman Bougenville, yang berada di kawasan penyangga Cagar Alam Raya Pasi, dapat menjadi teladan dan digiatkan kembali. Sehingga dari aspek bisnis agro wisata, pengelola taman yang memelihara Bunga Densia, mendapatkan keuntungan dari para wisatawan.

Artinya Bunga Densia sebagai anggrek endemik Singkawang menjadi daya tarik atau “poin of interest” wisatawan untuk melihat keindahan alam dan kekayaan flora lokal Singkawang.

 

POTENSI DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF

Selama proses riset sederhana ini, saya mencoba membuat beberapa desain produk diantaranya baju kaos (T-Shirt), gantungan kunci, dan gelas mug. Semua produk dimaksudkan sebagai pengayaan souvenir Singkawang.

Desain T-shirt dan Gantungan Kunci Bunga Densia (Dendrobium singkawangense) menjadi souvenir Singkawang. Foto : Estri dan Nono.

Produksi baju dan mug dilakukan di Singkawang dengan sistem pre order. Namun untuk pemesan dari daerah Pulau Jawa, menggunakan rekanan dengan layanan “pesan hari ini, hantar hari ini”. Strategi ini dipilih untuk meminimalisir ongkos pengiriman. Selain itu ketersediaan bahan produk di Pulau Jawa memang lebih banyak dan murah.

Untuk produk gantungan kunci masih diproduksi di Bandung.

Rata-rata minat para pembeli terhadap produk adalah (1) Isu, yakni tema desain produk yang meliputi pengetahuan tentang bunga khas Singkawang, yaitu Bunga Densia. (2) Desain produk yang menjadi kunci perkenalan antara pembeli dan barang.

Promosi yang dilakukan melalui media sosial, diantaranya facebook, instagram, tiktok, dan whatssap.

Tentu saja dengan keterlibatan berbagai seniman atau pekerja seni dalam menciptakan ragam souvenir khas Singkawang akan lebih baik. Tahapan berikutnya adalah (1) Menyusun cerita anak tentang Bunga Densia, (2) Motif untuk kain tenun dan batik, (3) Motif untuk keramik, (4) Pattern khas Bunga Densia, (5) Dsb-nya.

Peluang produk ekonomi kreatif ini kiranya dapat disambut oleh para pegiat seni untuk menghasilkan karya yang berdampak pada kemandirian ekonomi.

KESIMPULAN

Bunga Densia sebagai Maskot Singkawang

Setelah kita mempelajari sejarah, filosofi, konservasi, produk-produk kreatif juga peluang memperkuat ekonomi mandiri, tibalah kita membahas Maskot Singkawang.

Kita akan memulai dengan pertanyaan kenapa Singkawang memerlukan sebuah maskot. Berikut ini rangkuman dari berbagai sumber tentang pentingnya kota atau wilayah memiliki maskot.

Gelas mug ilustrasi rekonstruksi penemuan dan identifikasi Dendrobium singkawangense.
Gelas mug ilustrasi rekonstruksi penemuan dan identifikasi Dendrobium singkawangense.

Representsi Wajah Singkawang

 “Menjadi manusia berarti hidup di dunia yang dipenuhi dengan tempat-tempat yang bermakna: menjadi manusia berarti memiliki dan mengenali tempatmu.” — Edward Relph, Place and Placelessness, 1976

Dengan demikian tempat atau kawasan itu memiliki nilai atau sesuatu yang bermakna bila manusia di dalamnya berkemampuan untuk mengenali setiap potensi yang ada. Potensi riil inilah yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya. Kemudian potensi itu menjadi identitas dan citra. Inilah yang disebut dengan representasi rupa dan kedalaman berpikir mannusia Singkawang yang sejatinya memiliki ragam latar belakang budaya, sosial, agama, dan sebagainya.

Sehingga butuh suatu simbol atau pencitraan yang dapat menampung semua ragam perbedaan itu menjadi kesatuan. Tidak mudah. Dalam beberapa kasus di Singkawang, soal desain saja bisa heboh. Hal-hal seperti ini tentu saja membuat setiap orang harus berhati-hati dengan penggunaan simbol yang berkaitan dengan SARA.

Bunga Densia yang “diambil” dari hutan Singkawang kiranya dapat menjadi simbol baru, ikon baru, bahkan maskot yang lebih elegan ketika berhadapan dengan hal-hal yang terkait identitas.  Memang pemilihan Bunga Densia ini di luar mainstream cara-cara pemerintah atau kelompok di Singkawang merancang sebuah representasi kota. Selalunya berkaitan dengan kesukuan.

Namun perlu diingat pula, meski Bunga Densia, tak popular, anggrek dari kawasan Cagar Alam Raya Pasi ini, merupakan sesuatu (baca : spesies) yang otentik dan asli serta telah diakui dalam dunia pengetahuan khususnya botani sejak Indonesia belum merdeka.

Sayangnya, sejauh ini, Bunga Densia hanyalah dianggap tanaman saja. Bukan bagian penting dari kehidupan manusia di Singkawang. Saat penelusuran di lapangan, catatan atau seni yang terinspirasi dari anggrek ini terbilang sedikit. Mungkin karena ukuran yang kecil dan bunga yang tidak mencolok, luput dari perhatian orang Singkawang.

Kini saatnya kita membuka perspektif baru dalam mengartikulasikan Singkawang ke dalam citra yang lebih elegan. Membuka pemahaman untuk kembali melihat Singkawang dengan cara yang lebih bebas tak terbebani dengan hal-hal yang bernuansa SARA lewat sekuntum Bunga Densia.

Tunas Bunga Densia (Dendrobium singkawangense) masih imut. Hanya belum yakin 100%. FOTO : FRINO BARIARCIANUR

Alat Edukasi dan Pelestarian

Dalam dunia pelestarian lingkungan penggunaan maskot dari alam seperti bunga endemik bisa digunakan untuk mengedukasi warga tentang pentingnya konservasi.

Dengan demikian ragam studi ini menunjukkan bahwa personifikasi elemen alam, dalam kasus ini adalah Bunga Densia yang memiliki karakter atau citra khas, mampu membangkitkan rasa peduli dan empati warga terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Serta upaya-upaya pelestarian lingkungan akan terus bergema seiring dengan perubahan yang terjadi di Singkawang.

Menjaga alam adalah menjaga masa depan.

Pariwisata dan Branding Wilayah

“Tugas dari branding tempat bukanlah menciptakan identitas yang palsu, tetapi mengungkap dan mengkomunikasikan kekuatan nyata serta kepribadian tempat itu.” (Anholt, 2007).

Pernyataan Simon Anholt dalam buku “Competitive Identity : The New Brand Management for Nations, Cities and Regions” tentang branding wilayah menekankan (1) Reputasi kota dibentuk oleh tindakan nyata dan kontribusi, bukan sekadar promosi atau slogan. (2) Branding tempat bukan soal menciptakan sesuatu yang palsu, tapi mengungkap kekuatan dan kepribadian otentik dari tempat tersebut.

Dari perspektif inilah ketika kita sepakat memilih Bunga Densia sebagai maskot kota, maka pilihan ini bukanlah tindakan merekayasa citra, melainkan upaya menemukan, mengingat, mempopulerkan kembali kekayaan lokal Singkawang yang otentik dan sudah dikenal sejak zaman Kesultanan Sambas dan Kolonial Belanda. Inilah sikap penghargaan atau ungkapan syukur atas anugerah keanekaragaman hayati Singkawang. Tentunya dengan cara penyampaian atau presentasi berbagai bentuk yang menarik sehingga bisa dikenali dan dibanggakan oleh masyarakat maupun pengunjung.

Dalam perspektif Anhol, Bunga Densia berfungsi sebagai “branding device”.

Artinya Bunga Densia sebagai alat pencitraan mampu secara efektif untuk mengartikulasikan dan menyampaikan karakteristik, nilai, dan cita-cita Singkawang.

 

Penguatan Budaya dan Ekspresi Lokal

Generasi masa lalu alias nenek moyang kita yang tentunya beragam itu, memiliki metode khas menyatakan identitas mereka, yaitu melalui medium seni, tata krama, adat, termasuk rasa bangga. Metode ini mengintegrasikan potensi kekayaan alam yaitu hewan, tumbuhan, dan pandangan hidup menjadi identitas khas. Ragam ekspresi ini kemudian menjadi nilai-nilai lokal yang bertahan hingga sekarang.

Kita dapat melihat jejak kultural yang bersumber dari alam sekitar yaitu penggunaan tumbuhan seperti rebung, pakis, atau tengkawang sebagai motif yang diwujudkan dalam bentuk seni. Kemudian ikon seperti Burung Enggang Gading, dan Burung Laut telah menjadi bagian identitas kultural masyarakat Singkawang.

Setiap “comotan” rupa dari alam itu memiliki filosofi dan nilai kehidupan serta cita-cita membangun sebuah komunitas atau masyarakat. Menjadi cermin dalam setiap detak perubahan.

Sebagai penutup saya kutipkan pernyataan seorang perancang grafis Amerika yang terkenal, Milton Glaser, saat diwawancara oleh New York Times, 1977, ”Saya tidak pernah memisahkan kota dari diri saya sendiri. Saya pikir saya adalah kota itu sendiri. Saya adalah kota itu sendiri. Ini adalah kota saya, hidup saya, visi saya.”

Tentu saja dengan menjadikan Bunga Densia, yang khas Singkawang, kita semua dapat melahirkan kekuatan, semangat, nafas, serta gaya baru, untuk masa depan Singkawang. Dan itu kita mulai dari dalam alam.

Akhirulkalam, sebagai penulis yang terbatas kemampuannya, saya berharap kepada publik khususnya masyarakat Singkawang dapat menerima Dendrobium singkawangense alias Bunga Densia, Putri dari Gunung Raya, menjadi Maskot Singkawang.

Allahumma sholli ala Muhammad waala ali Muhammad. Semoga upaya sederhana ini berdampak kebaikan bagi kita semua. AMIN. []

Sumber Referensi :

  1. The Gardens’ Bulletin Straits Settlements”, Volume IX, Desember, 1935 – March, 1938, Singapura.
  2. Epiphyte
  3. Tumbuhan Epifit, Pengertian, dan Contohnya
  4. Relph, E. “Place and Placelessness”, (1976).
  5. Proshansky, H. M., Fabian, A. K., & Kaminoff, R. “The city and self-identity. Environment and Behavior”, 10(2), 147–169, (1978).
  6. Anholt, S. “Competitive Identity: The New Brand Management for Nations, Cities and Regions”, Palgrave Macmillan (2007).
  7. Ian Shank, “How Milton Glaser’s Iconic Logo Made the World Love New York Again” (2017)
  8. Ilustrasi menggunakan Chat GPT

 

Frino Bariarcianur, jurnalis dan seniman tinggal di Singkawang, aktif dalam kelompok Singkawang Art Laboratory (SAL). Artikel ini akan terus saya perbaiki.

Liat Singkawang Lagi

  • Mengenalkan Bunga Densia Si Anggrek Hutan Maskot dan Ikon SingkawangMengenalkan Bunga Densia Si Anggrek Hutan Maskot dan Ikon Singkawang
  • Presentasi dan Diskusi Publik Maskot SingkawangPresentasi dan Diskusi Publik Maskot Singkawang
  • Menikmati Hutan Mangrove Setapuk Besar SingkawangMenikmati Hutan Mangrove Setapuk Besar Singkawang
  • Pemenang Lomba Foto on the Spot Singkawang 2015Pemenang Lomba Foto on the Spot Singkawang 2015
  • SCH Gelar Bazar Akhir Tahun 2021 “SUPERNOVA”SCH Gelar Bazar Akhir Tahun 2021 “SUPERNOVA”
  • Koalisi Masyarakat Sipil KalBar Desak Pengesahan RUU Masyarakat AdatKoalisi Masyarakat Sipil KalBar Desak Pengesahan RUU Masyarakat Adat

About Author

mysingkawang

Website mysingkawang.id merupakan media komunitas yang diterbitkan oleh Perkumpulan Mysingkawang. Menyajikan ragam informasi seputar komunitas, seni, budaya, wisata, dan, kreativitas anak muda Singkawang. EDITOR : FRINO BARIARCIANUR Email : mysingkawangfree@gmail.com

See author's posts

  • anggrek singkawang
  • bunga densia
  • bunga singkawang
  • Dendrobium singkawangense
  • FJ Paath
  • JJ Smith
  • konservasi singkawang
  • maskot singkawang
  • sejarah botani
  • taksonomi anggrek
  • Leave a Reply Cancel reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *

    ©2025 Mysingkawang | Design: Newspaperly WordPress Theme