Setelah Anda menonton video dokumentasi besutan Andri Adrian – Ban Oto Imagine, saya ingin cerita sedikit soal proses pameran seni. Pendek saja.
Obrolan tentang kegiatan atau program seni di Singkawang semakin intens ketika puasa Ramadhan memasuki minggu ke-3. Obrolan kami dimulai dari warung kopi ke warung kopi hingga saat berbuka puasa di Sanggar Simpor di Jalan Hansip, Singkawang.
Intinya membuat sebuah kelompok kecil yang bisa menginisiasi program bersama kelompok, perorangan, dan atau komunitas di Singkawang. Selain itu kami memang punya problem soal ketiadaan ruang dan minat publik terhadap dunia seni, terutama sastra, teater, dan seni rupa.
Bukan tak ada seniman. Tapi memang sulit untuk mewujudkan program seni berkesinambungan bila tak ada ruang yang representatif. Sejak Dewan Kesenian Singkawang dibentuk puluhan tahun silam kemudian mati, isu utama kesenian saat itu adalah Singkawang perlu ruang seni alias gedung kesenian. Tapi puluhan tahun berlangsung, tak ada satu penguasa di kota ini yang sanggup mewujudkannya.
Catat, semua penguasa Singkawang gagal mewujudkan ruang seni meskipun hanya 2 X 3 meter saja.
Seni memang tak penting di kota Singkawang. Apalah arti seni itu bagi penguasa atau pejabat publik? Apa sih untungnya berkesenian? Apakah seni bisa menaikkan PAD? Lantas apakah seniman Singkawang merajuk? Ya enggaklah. Kami, para seniman Singkawang harus pandai-pandai putar otak mencari ruang untuk mempresentasikan karya.
Coba perhatikan ketika para pejabat publik ini “kunjungan kerja” atau “berwisata” ke kota lain, mereka sangat antusias ke ruang-ruang pameran hingga gedung kesenian atau menghadiri sebuah acara seni.
Sialnya, entah kenapa, mereka hanya suka bercerita saja. Cerita bahwa mereka pernah ke sini dan situ. Begitulah. Bertahun-tahun lamanya. Kadang ingin sekali “menuntaskan” kalimat mereka itu dengan sindirian.
Tapi apa gunanya sindirian bagi orang yang bebal?
Kesenian itu semestinya tak hanya menjadi pelengkap ketika para pejabat pusat atau pejabat provinsi datang, atau menjadi aksesori dari rangkaian kegiatan kenegaraan alias kegiatan yang penuh protokoler. Di Singkawang, seni itu hadir ketika musim politik lagi tinggi, ketika pejabat ingin dibilang peduli. Itu gimmick, kan?
Mereka sering lupa bahwa kesenian itu juga mewakili ragam persoalan kehidupan di kota ini. Bukan hanya menampilkan kewarasan, estetika, atau rupa-rupa dan suara manis, seperti jargon pariwisata. Seolah-olah kota ini tak ada masalah. Enggak lah yau.
Kesenian yang sedang kami galakkan adalah kesenian yang tak lepas dari kehidupan yang menghadirkan wajah seadanya tanpa kemunafikan. Dan para pelakunya mampu berjejaring dengan kelompok-kelompok seni di luar Singkawang
Pekerjaan Rumah kami memang banyak dan kusut. Tapi harus diurai satu demi satu. Prosesnya, seperti medan sosial seni di kota-kota lain di Indonesia, tetap harus bergerak. Kegagalan yang kami rasakan tahun-tahun sebelumnya tak membuat kami jera. Kalau tak hepi menjalaninya, tentu kami diam. Sesungguhnya dengan segala keterbatasan dan kemampuan kami terus menciptakan formula demi formula.
Kali ini formula diberi nama Singkawang Art Laboratory (SAL).
Langkah awal kami–ketimbang banyak bacot–adalah membuat kegiatan dalam waktu dekat. Meski tak ada dana, tak ada ruang harus tetap jalan. Semangat satu-satunya modal. Sisanya nekat.
Banyak kawan tak menyangka dalam waktu singkat, Pameran Seni “R E L A S I – Cipta Pusaka Singkawang” bisa digelar di Gedung Landraad Singkawang. Modalnya memang semangat selebihnya donasi dari kawan-kawan yang peduli dengan dunia seni di Singkawang. Satu diantaranya adalah Agus Sutomo, Teraju Foundation, atau biasa dipanggil Bung Tomo.
Bung Tomo, saat itu berada di hutan Ketapang, langsung mengiyakan untuk membantu ketika rencana pameran baru saja dibincangkan dengan kawan-kawan seniman. “Alhamdulillah bisa membantu, semoga kesenian di kampung kita terus bergerak,” katanya singkat lewat handphone.
Dari bantuan Bung Tomo inilah kami bergerak cepat. Tak lama kemudian satu demi satu donasi kami terima. Ada yang hingga saat ini kami tak tahu siapa yang memberikan donasi. Benar-benar rahasia. Semua dana yang terkumpul untuk operasional. Kadang untuk makan pun, kami harus pulang ke rumah dulu. Atau ada yang membawa nasi dari rumah untuk makan bersama.
Menghemat. Bukan sok-sok berjuang. Atau seperti kisah seniman-seniman dulu…nggak kok. Kami tidak sedramatik itu.
Kami memang harus menghemat untuk acara yang kami susun dari mulai tanggal 2 – 10 Mei 2024. Beruntunglah kawan-kawan yang jadi panitia dan pembicara di tiap sesi diskusi memaklumi biaya pameran ini seret. Insya Allah kami gak mau begini lagi. Tentu akan lebih profesional menghargai keseriusan kawan-kawan.
Kami punya momentum yang baik, yaitu World Heritage Day dan Hari Pendidikan Nasional. Dua peringatan ini dijadikan sandaran untuk membuat program pertama Singkawang Art Laboratory. Biar publik tahu, kami ini serius loh.
Bagi Anda yang tak sempat datang ke Gedung Landraad, bisa lihat dokumentasi kegiatan Singkawang Art Laboratory. Jangan segan untuk memberikan kritk dan saran. Agar nyawa kesenian kami bertambah. Bukan hanya cerita-cerita saja.
Mari berkesenian lagi, kawan! []